KUNJUNGAN LAPANG
PENGELOLAAN GULMA PADA PERKEBUNAN TEBU PT GUNUNG MADU PLANTATION
(Laporan Praktikum Pengelolaan Gulma Perkebunan)
Oleh
Kelompok 3
Adam Rizki 0914013058
Angelinar Siringo Ringo 0914013076
Apri T Hutapea 0914013077
Ari Setiawan 0914013079
Darso Waluyo 0914013084
Erika Alina Putri 0914013194
JURUSAN
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2012
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gulma merupakan jenis
tumbuhan yang hidupnya atau keberadaannya tidak dikehendaki. Munculnya suatu
jenis gulma di sekitar areal tanaman budidaya dapat dikendalikan dengan
menggunakan bahan kimia yang dinamakan herbisida.
Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan.
Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan.
Masa
tersebut merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis
tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman
tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tanaman tebu 8-12
minggu.
Gulma berinteraksi dengan
tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang
terbatas, seperti cahaya, hara, dan air. Tingkat persaingan bergantung pada
curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman,
pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al.
2002).
Kehadiran
gulma akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas penebangan
tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan
bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa
mencapai 6.6% –11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk
yang diberikan oleh gulma dapat dilihat pada berkurangnya jumlah anakan tebu,
batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna pucat.
B.
Tujuan
Praktikum
kunjungan lapang ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui jenis/golongan
gulma yang terdapat di PT GMP
2.
Mengetahui teknik
pengendalian gulma yang terdapat di PT GMP
3.
Mengetahui
kondisi gulma di perkebunan tebu PT GMP secara langsung
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu
alang-alang masih berguna bagi manusia karena dapat mengurangi erosi dan meningkatkan bahan organik
dalam tanah. Namun, bila lahan tersebut akan dipergunakan untuk budidaya tanaman pokok maka
berubahlah statusnya menjadi gulma. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana
ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya
gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berinteraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah
persaingan atau kompetisi. Persaingan gulma dalam memperebutkan unsur hara, air, cahaya matahari
dan ruang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al 1984).
Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana
tanaman pokok dibudidayakan oleh manusia (Humbert, 1968).
Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan
tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat
dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada
masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya
adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan.
Masa tersebut
merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis tersebut tebu
mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6
minggu dan sangat lebat pada saat umur tanaman tebu 8-12 minggu.
Kehadiran gulma
akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas penebangan
tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan
bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa
mencapai 6.6% –11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk
yang diberikan oleh gulma dapat dilihat pada berkurangnya jumlah anakan tebu,
batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna pucat.
Menurut Setyamidjaja dan Azharni
(1992), macam spesies gulma di kebun tebu sangat ditentukan oleh cara mengolah
tanah dan macam tanaman budidayanya.
Pengolahan tanah menyeluruh dengan membajak akan mengurangi kepadatan berbagai
spesies gulma dari keluarga poaceae, tetapi dapat menambah pertumbuhan teki dan
berbagai spesies gulma berdaun lebar. Pada lahan tegalan, macam spesies gulma
pada pertanaman baru agak berbeda dengan keprasannya, karena waktu pertumbuhan
tanaman baru jatuh pada awal musim hujan, sedangkan waktu pertumbuhan keprasan
adalah musim kemarau.
Menurut Sukman (2002), terdapat
beberapa metode/cara pengendalian gulma yang dapat dipraktikkan di lapangan,
metode-metode tersebut diantaranya adalah:
1. Pengendalian
dengan upaya preventif (pembuatan peraturan/ perundangan, karantina, sanitasi dan
peniadaan sumber invasi).
2. Pengendalian
secara mekanis/fisik (pengerjaan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, penggenangan
dan pembakaran).
3. Pengendalian
secara kultur-teknis (penggunaan jenis unggul terhadap gulma, pemilihan saat tanam,
cara tanam-perapatan jarak tanam/heavy seeding, tanaman sela, rotasi tanaman
dan penggunaan mulsa).
4. Pengendalian
secara hayati (pengadaan musuh alami, manipulasi musuh alami dan pengelolaan musuh
alami yang ada di suatu daerah).
5. Pengendalian
secara kimiawi (herbisida dengan berbagai formulasi, surfaktan, alat aplikasi dsb).
6. Pengendalian
dengan upaya memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti sayur, bumbu, bahan
obat, penyegar, bahan/karton, biogas, pupuk, bahan kerajinan dan makanan
ternak.
III. METODOLOGI
A.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
praktikum kunjungan lapang ini adalah kendaraan (bus), dan alat tulis.
B.
Cara kerja
Praktikum
kunjungan lapang ini
dilakukan dengan cara:
1. Dilakukan persiapan kunjungan lapang ke PT GMP berupa
akomodasi dan transportasi.
2. Dilakukan kunjungan lapang dengan menemui penanggung
jawab wilayah.
3. Dilakukan kuliah lapang dan penjelasan secara umum
dari pihak PT GMP.
4. Dilakukan kunjungan ke lahan yang sedang di aplikasi,
berupa aplikasi pengolahan lahan, pemupukan dan aplikasi herbisida dengan boom spayer. Selain itu, dilakukan tanya jawab selama kunjungan ke
lahan.
5. Dilakukan praktik kaliberasi boom sprayer.
6. Dicatatsemua informasiyang diperoleh dan dibuat
laporan kunjungan lapang.
III. HASIL
PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Pengamatan
Setelah
dilakukan kunjungan lapang ke PT GMP, diperoleh hasil kunjungan berupa
pengelolaan gulma secara kimiawi pada saat pre emergence
(pra tumbuh), late pre emergence
(awal tumbuh) dan post emergence
(setelah tumbuh). Selain itu,
diperoleh pengetahuan tentang pemupukan dan kalibrasi boom sprayer.
B. Pembahasan
Perkebunan tebu pada lahan
kering memiliki gulma yang lebih beragam dan lebih
berbahaya. Gulma – gulma dominan yang menjadi pesaing kuat yang berakibat
merugikan terdiri atas gulma daun lebar dan merambat, gulma daun sempit dan
teki-tekian. Gulma daun lebar dan merambat terdiri atas Cleome ginandra, Emilia sonchifolia, Boreria alata, Amaranthus dubius,
Spigelia anthelmia, Commelina elegans, Mikania micrantha dan Momordica charantia. Gulma daun sempit
tediri atas Digitaria ciliaris,
Echinochloa colonum, Eleusine indica, Dactylocta aegyptium dan Brachiaria distachya sedangkan gulma
golongan teki adalah Cyperus rotundus.
Dalam
pelaksanaannya, pengendalian gulma di
PT GMP dilakukan scara terpadu yang meliputi
pengendalian secara kimia, mekanis dan manual. Pada lahan kering umumnya pengendalian gulma dilakukan secarasecara kimia, yang dibedakan menjadi
tiga yaitu pre emergence (pra
tumbuh), late pre emergence (awal
tumbuh) dan post emergence (setelah
tumbuh).
Pengendalian
gulma pra tumbuh (pre emergence)
adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tanaman tebu belum
tumbuh. Dilaksanakan pada 3 – 5 hari setelah tanam. Pengendalian ini merupakan kunci keberhasilan
pengendalian gulma berikutnya. Aplikasi herbisida
dilaksanakan dengan menggunakan Boom
Sprayer yang mempunyai lebar kerja 12 meter yang ditarik oleh traktor kecil
80 HP. Tekanan yang umum digunakan adalah 3 bar dan 1400 rpm.
Jumlah nosel pada Boom Sprayer ada sebanyak 24 buah. Sebelum
dilakukan aplikasi herbisida, terlebih dahulu dilakukan persiapan alat,
pengawasan kondisi areal dan gulma, serta menentukan jenis herbisida yang akan
digunakan. Kondisi lahan yang diamati berupa kecepatan angin dan perkiraan akan
turun hujan. Kecepatan angin diukur menggunakan alat pengukur kecepatan angin.
Jika angin bertiup lebih dari 250 m/s (2 knot), maka aplikasi Boom Sprayer tidak bisa dilaksanakan.
Hal ini dikarenakan droplet herbisida yang jatuh tidak merata. Kondisi lahan
yang lainnya yaitu pengairan. Jika terjadi kemarau, maka sebelum diaplikasi
herbisida dengan Boom Sprayer dilakukan
irigasi. Pada raotoon cane, irigasi
dilakukan selama 2 jam, sedangkan pada plant
cane irigasi dilakukan selama 3 jam.
Gambar 1.
Aplikasi Metribuzin menggunakan Boom
Sprayer
Gambar 2.
Alat pengukur kecepatan angin
Pada aplikasi hebisida kali ini digunakan hebisida
denan bahan aktif Metribuzin. Herbisida ini biasanya digunakan pada plant cane (tebu tanam baru), sedangkan pada ratoon cane (tebu yang
telah dipanen 2-3 kali) digunakan herbisida diuron yang dicampur dengan
2,4-D. Tujuan digunakannya 2,4-D adalah
untuk mengendalikan gulma teki-tekian. Dosis Metribuzin yang digunakan adalah
1,2 kg/ha.
Late pre
emergence adalah pengendalian gulma yang
dilakukan pada saat gulma sudah tumbuh dengan 2 – 3 daun dan tanaman tebu sudah
berkecambah. Late pre emergence
dilaksanakan karena terjadi keterlambatan aplikasi pre emergence, sedangkan post
emergence dilaksanakan pada saat gulma sudah tumbuh dan biasanya
dilaksanakan 1 – 2 kali. Post emergence
diaplikasikan secara manual dengan hand
sprayer/knapsack sprayer.
Pengendalian
gulma secara mekanis dilakukan dengan menggunakan Tyne Cultivator dan Terra
Tyne dan biasanya dilaksanakan pada
saat pengemburan tanah. Pengendalian tersebut dilaksanakan pada saat tanaman
berumur 45 hari setelah tanam. Untuk tanaman ratoon diperlukan alat yang bisa membantu menggemburkan tanah dan
mengendalikan gulma. Aplikasi dilaksanakan dua kali dalam satu musim tanam.
Alat yang digunakan untuk aplikasi pertama adalah Terra Tyne dan yang kedua adalah Sub Tiller yang dilaksanakan setelah pemupukan II. Dengan Terra Tyne, kedalaman olah minimal 25 cm sedangkan dengan Sub Tiller kedalaman minimal 50 cm. Terra
Tyne memiliki angel (mata bajak) sebanyak 5 buah.
Biasanya, angel yang digunakan pada ratoon cane lebih tebal karena tanahnya
biasanya lebih keras dan angel lebih
cepat aus dibanding angel yang
digunakan pada plant cane. Terra Tyne
sendiri ditarik oleh traktor kecil dengan 80 HP secara
overlap. Biasanya terdapat kendala
berupa baris tanaman yang rusak dan penumpukan sampah sisa tebangan panen.
|
Gambar 3. Terra Tyne
Pengendalian
gulma secara manual dilaksanakan oleh tenaga kerja dengan mempergunakan
peralatan sederhana, dilaksanakan pada saat kondisi tanaman tebu masih dalam
stadia peka terhadap herbisida, gulma didominasi oleh gulma merambat, populasi
gulma hanya spot–spot, ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan herbisida yang tidak
tersedia di pasaran. Kapasitas kerja pengendalian gulma berbeda tergantung pada
pengendalian gulma yang dilakukan.
Pengaplikasian
pupuk dengan bantuan traktor tangan sudah dikembangkan terutama untuk pembukaan
dan penutupan alur sekaligus pembumbunan. Alat yang dipakai adalah fertilizer
applicator ditarik dengan traktor tangan 80-90 HP. Pupuk yang diaplikasikan berupa Urea, TSP dan KCl yang
telah dicampur pada alat pencampur di pabrik. Pupuk urea yang digunakan
sebanyak 3oo kg/ha, TSP200 kg/ha, dan KCl sebanyak 300 kg/ha sehingga totalnya
adalah 800 kg/ha. 1 kali aplikasi chissel
plow dapat mengangkut 400 kg pupuk, sehingga diperlukan 2
kali aplikasi unruk 1 ha. Pada fertilizer
applicator terdapat disk cutter yang berfungsi untuk
memotong tanaman yang menghalangi dan menghancurkan sampah-sampah yang tersisa
setelah aplikasi terra tyne.
|
Gambar 4. fertilizer applicator
Kalibrasi
sangat penting untuk dilakukan sebelum menggunakan suatu alat. Kalibrasi
dilakukan jika alat sudah lama tidak digunakan, orang yang menggukanan berbeda
dari sebelumnya dan alat tersebut masih baru. Kondisi lahan yang berbeda pun
memerlukan kalibrasi ulang sebelum alat tersebut digunakan. Begitu pula halnya
dengan Boom Sprayer, sebelum
digunakan deperlukan kalibrasi. Kalibrasi yang digunakan meliputi pancaran yang
dikeluarkan tiap nosel, apakah sudah rata atau belum. Jika masih belum
rata/sama, maka harus terus dilakukan kalibrasi agar semburannya sama. Baru
setelah itu dilakukan pengukuran air yang keluar dari tiap nosel. Iari yang
keluar dair tiap nosel dirampung dalam ember dan diukur menggunakan gelas ukur.
Selain itu, kalibrasi kecepatan jalan
traktor Boom Sprayer sehingga
herbisida yang digunakan tidak kurang dan tidak lebih (efektif dan efisien).
Setelah dilakukan kalibrasi, maka dapat ditemtukan dosis dan waktu yang
derlukan untuk aplikasi pada suatu areal.
Gambar
5. Kalibrasi Boom Sprayer
V. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum
kunjungan lapang yang telah dilakukan di PT GMP, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. pada
perkebunan tebu PT GMP digunakan metode pengendalian gulma secara terpadu
berupa mekanik,kimiawi, dan manual.
2. Pengendalian
gulma secara kimia meliputi pre
emergence (pra tumbuh), late pre emergence (awal tumbuh) dan post emergence (setelah tumbuh).
3. kalibrasi
sangat diperlukan sebelum melakukan aplikasi di lapang agar hasil aplikasi yang
ddapatkan maksimal, efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Humbert RP. 1968. The Growing of Sugar Cane. Amsterdam: Elsevier
Publishing Company.
Kuntohartono. 1987. Pergesaran Gulma di Kebun Tebu dan Penanggulangannya.
Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan. 7 hal
Moenandir J. 1990. Fisiologi Herbisida. Rajawali Press. Jakarta.pp.142.
Peng SY. 1984. The Biology and Control of Weeds in Sugarcanes. Elsevier
Science Publishing Company Inc. New York. 336 p.
Setyamidjaja D, Azharni H. 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pascapanen. CV.
Yasaguna. Jakarta.
Sukman Y. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
Tjitrosoedirdjo S, Utomo IH, Wiroatmodjo J(Eds). 1984. Pengelolaan Gulma
di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor – PT. Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar